Keliling,
Membaca Naskah Lontar Lombok
SOSOK
PAK NARI
Dia adalah bapak Amar
Nurminiyang biasa disapa akrab Pak Nari atau Pak Mini. Pak Nari berusia 70
tahun. ia adalah seorang pembaca naskah lontar. Naskah lontah adalah naskah
yang berisikan cerita dan dibaca dengan cara dilagukan (menembang). Naskah lontar
menggunakan bahasa Madya.
Pak Nari satu-satunya
pembaca naskah lontar yang sudah lanjut usia dan terkenal di Lombok. Pak Nari
membacakan naskah lontar ke berbagai acara seperti khitanan, ngurisang, dan
potong rambut pada bayi.
Awalnya Pak Nari menekuni
membaca naskah lontar pada tahun 1990 di ajang lomba. Ketika itu ada acara
lomba “memaos” (naskah lontar) yang diadakan di NTB. Ia meraih juara kedua
dengan mendapatkan penghargaan serta uang tunai.
Pada saat itu ayah dari
Pak Nari sangat bangga padanya. Ayahnya bernama H. Ahmad Gani yang seorang
seniman tradisi dan juga bermain gamelan yang biasa mengiri naskah lontar. Pak
Nari juga banyak belajar dari ayahnya, selain dari ayahnya ia juga berguru
kebeberapa teman kampungnya.
Pak Nari mengasah
keterampilannya dalam membaca naskah lontar secara otodidak, karena tidak mudah
membaca naskah lontar sebab menggunakan bahasa jawa Madya yang Pak Nari sendiri
kurang menguasainya. Ada beberapa koleksi naskah lontar yang dikumpulkan Pak
Nari diantaranya adalah Takepan Puspakerma, Rengganis, Doyan Neda, Tapel Adam,
Tanjung Muluk, Tanjung Bangse dan Anteboga, selain ini Pak Nari juga mempunya
naskah yang ditulis dengan tangannya sendiri yaitu Langit Gita, Babad Praya,
Indarjaya, Bangbari, Hikayat Ukur, dan Medang Sekar.
Perlombaan yang diikuti
Pak Nari tidak hanya sekali tetapi ia kembali mengikuti lomba di Museum Negri
NTB pada tahun 1992 dan untuk kali ini ia berhasil menjadi juara pertama. Ini membuat
Pak Nari terus termotivasi untuk membaca naskah lontar dan berharap di desa –desa
lain banyak yang mengikuti jejak dia terutama anak muda untuk melestarikan
budaya Indonesia.
Pekerjaan Pak Nari pada
saat ini hanya mengandalkan dengan membaca naskah kuno karena denga usia
lanjutnya tubuhnya tidak mampu lagi menompang pekerjaan yang terlalu menguras energy
seperti berja disawah. Selain mengikuti permintaan undangan untuk membacakan
naskah lontar pada acara-acara tertentu disamping itu Pak Nari ngamen ke
kampung-kampung sekuat kainya melangkah untuk membacakan naskah lontar.
Pada pekerjaanya Pak
Nari tidak memasang tariff tetapi banyak orang yang memberikan harga sebesar Rp.
250.000- Rp. 500.000 itu semua tidak sepenuhnya untuk Pak Nari penghasilan itu
masih dibagi 2 dengan seorang penerjemah naskah.
Melihat dari sosok Pak
Nari kitadapat mengambil pelajaran sebagai generasi muda harus melihat contoh
bagaimana seseorang yang sudah lanjut usia tidak kenal lelah terus melestarikan
budaya agar tidak hilang begitu saja.
Referensi
Koran kompas, Sabtu 12
April 2014