Kamis, 17 April 2014

Tugas SOSOK



Keliling, Membaca Naskah Lontar Lombok
SOSOK PAK NARI


Dia adalah bapak Amar Nurminiyang biasa disapa akrab Pak Nari atau Pak Mini. Pak Nari berusia 70 tahun. ia adalah seorang pembaca naskah lontar. Naskah lontah adalah naskah yang berisikan cerita dan dibaca dengan cara dilagukan (menembang). Naskah lontar menggunakan bahasa Madya.
Pak Nari satu-satunya pembaca naskah lontar yang sudah lanjut usia dan terkenal di Lombok. Pak Nari membacakan naskah lontar ke berbagai acara seperti khitanan, ngurisang, dan potong rambut pada bayi.
Awalnya Pak Nari menekuni membaca naskah lontar pada tahun 1990 di ajang lomba. Ketika itu ada acara lomba “memaos” (naskah lontar) yang diadakan di NTB. Ia meraih juara kedua dengan mendapatkan penghargaan serta uang tunai.
Pada saat itu ayah dari Pak Nari sangat bangga padanya. Ayahnya bernama H. Ahmad Gani yang seorang seniman tradisi dan juga bermain gamelan yang biasa mengiri naskah lontar. Pak Nari juga banyak belajar dari ayahnya, selain dari ayahnya ia juga berguru kebeberapa teman kampungnya.
Pak Nari mengasah keterampilannya dalam membaca naskah lontar secara otodidak, karena tidak mudah membaca naskah lontar sebab menggunakan bahasa jawa Madya yang Pak Nari sendiri kurang menguasainya. Ada beberapa koleksi naskah lontar yang dikumpulkan Pak Nari diantaranya adalah Takepan Puspakerma, Rengganis, Doyan Neda, Tapel Adam, Tanjung Muluk, Tanjung Bangse dan Anteboga, selain ini Pak Nari juga mempunya naskah yang ditulis dengan tangannya sendiri yaitu Langit Gita, Babad Praya, Indarjaya, Bangbari, Hikayat Ukur, dan Medang Sekar.
Perlombaan yang diikuti Pak Nari tidak hanya sekali tetapi ia kembali mengikuti lomba di Museum Negri NTB pada tahun 1992 dan untuk kali ini ia berhasil menjadi juara pertama. Ini membuat Pak Nari terus termotivasi untuk membaca naskah lontar dan berharap di desa –desa lain banyak yang mengikuti jejak dia terutama anak muda untuk melestarikan budaya Indonesia.
Pekerjaan Pak Nari pada saat ini hanya mengandalkan dengan membaca naskah kuno karena denga usia lanjutnya tubuhnya tidak mampu lagi menompang pekerjaan yang terlalu menguras energy seperti berja disawah. Selain mengikuti permintaan undangan untuk membacakan naskah lontar pada acara-acara tertentu disamping itu Pak Nari ngamen ke kampung-kampung sekuat kainya melangkah untuk membacakan naskah lontar.
Pada pekerjaanya Pak Nari tidak memasang tariff tetapi banyak orang yang memberikan harga sebesar Rp. 250.000- Rp. 500.000 itu semua tidak sepenuhnya untuk Pak Nari penghasilan itu masih dibagi 2 dengan seorang penerjemah naskah.
Melihat dari sosok Pak Nari kitadapat mengambil pelajaran  sebagai generasi muda harus melihat contoh bagaimana seseorang yang sudah lanjut usia tidak kenal lelah terus melestarikan budaya agar tidak hilang begitu saja.
Referensi
Koran kompas, Sabtu 12 April 2014